Terjemah ringkas kitab Risalah Al-Qusyairiyah { Khusyu’ dan Tawadhu’ }

Allah SWT berfirman, “Sungguh telah beruntung orang mukmin, yaitu mereka yang khusyu’ di dalam shalatnya”. (Al-Mukminun 1-2).

Dikutib dari AbdulLah bin Mas’ud, dari Nabi Muhammad SAW bahwa beliau bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat sebiji berat timbangan kesombongan dan tidak akan masuk neraka orang yang dalam hatinya terdapat satu biji berat timbangan keimanan”. Seorang laki-laki mengatakan

, ‘Wahai RasuluLlah sesunguhnya ada orang yang menginginkan pahalanya itu baik’. RasuluLlah SAW menjawab, “Sesunggyuhnya Allah itu baik dan mencintai orang-orang yang baik sedangkan sombong adalah menolak yang benar dan merendahkan orang lain”.

Diceritakan oleh sahabat Anas bin Malik bahwasanya RasuluLlah SAW pernah menjenguk orang sakit, mengantarkan jenazah, menunggangi keledai, dan memenuhi undangan seorang budak. Dalam suatu cerita, suatu hari orang dari suku Bani Quraizhah dan Nadhier menunggangi keledai yang diikat dengan tali serabut dan di atasnya terdapat pelana.

Yang dimaksud khusyu’ adalah mencari keselamatan diri demi kebenaran (Allah), sedangkan yang dimaksud tawadhu’ / merendahkan diri adalah menyerahkan diri untuk tunduk kepada kebenaran (Allah) dan meninggalkan hal-hal yang bertentanan dengan hukum.

Hudzaifah mengatakan, “permulaan sesuatu yang akan hilang dari agama adalah khusyu”. Seorang ulama pernah ditanya tentang khusyu’, dia menjawab, “Yang dimaksud khusyuk adalah hati yang tenang di hadapan Allah.” Sahal mengatakan, “Barang siapa yang hatinya khusyuk maka setan tidak akan mendekatinya”. Menurut suatu pendapat, salah satu indikasi khusyuk adalah apabila ia dibenci, disakiti atau diusir, maka dia menerima dengan lapang dada. Yang lain berpendapat, yang dimaksud khusyuk adalah orang yang mampu memadamkan gejolak syahwat, mampu menetralisir asap jantung, dan mampu memberikan penerangan kepada hati agar gejolak syahwatnya menjadi padam dan hatinya menjadi hidup, sehinga seluruh anggota tubuh menjadi kusyuk. Sedangkan menurut Hasan Al-Bashri, yang dimaksd khusyuk adalah takut secara konsisten untuk kepentingan hati.

Al-Junaid pernah ditanya tentang khusyuk beliau emnjawab, “Wa ‘ibaduRrahman alladziina yamsauna ‘alal ardhi haunan” (QS. Al Furqaan 63) “Hamba-hamba Allah Yang Maha Pengasih adalah orang-orang yang berjalan di muka bumi dengan tenang (tidak sombong)”.

Syaikh Al-Qusyairy pernah mendengar syaikh Abu Ali Ad-Daqaq berkata, “yang dimaksud ayat tersebut adalah orang-orang yang tawadhu’ dan orang-orang yang khusyuk, mereka itu adalah orang-orang yang tidak menganggap baik terhadap jauhnya perjalanan ketika mereka bepergian”.

Para Ulama sepakat bahwa khhusyuk adalah terletak di dalam hati. Dalam suatu cerita, seorang ulama melihat seorang laki-laki yang berduka cita dan penglihatannya pecah. Sang ulama itu pernah mendekati kedua pundaknya seraya mengatakan, “Wahai fulan, khusyuk itu terletak si dalam hati bukan terletak di kedua pundak”.

Diriwayatkan bahwa RasuluLLah SAW melihat seorang laki-laki yang mempermainkan janggutnya ketika shalat. Beliau bersabda, “Lau khasya’a qalbu hadza lakhasya’at jawaarichuhu, ‘ Seandainya hati orang ini khusyuk niscaya akan khusyuk pula anggota badannya”

Menurut satu pendapat, syarat khusyuk dalam shalat adalah apabila ia tidak mengetahui orang lain yang berada di sebelah kanan atau kirinya. Menurut Tuan Guru Syaikh Abu Ali Ad-Daqaq yang dimaksud khusyuk adalah tunduknya hati dengan berperilaku yang baik. Yang lain berpendapat yang dimaksud khusyuk adalah leganya hati ketika berada di hadapan Tuhan. Ada pula yang berpendapat yang dimaksud khusyuk adalah keringnya hati dan perasaaan rendah ketika berada di hadapan Allah. Sebagian yang lain berpendapat, khusyuk adalah awal kemenangan dari sebuah kekuatan.

Abu Sulaiman Ad-Darane mengatakan, “seandainya orang-orang berkumpul untuk meletakkan diriku seperti kehinaanku ini, tentu mereka tidak akan mampu.” Sebagian Ulama mengatakan, “Barang siapa yang tidak merasa rendah dihadapan dirinya sendiri, maka derajadnya tidak akan terangkat di hadapan orang lain.” Menurut satu ungkapan Umar bin Abdul Aziz tidak pernah bersujud kecuali di atas tanah (tidak beralas).

Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa RasuluLlah SAW bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat kesombongan meskipun hanya seberat biji sawi”

Mujahid mengatakan bahwa ketika Allah Ta’ala menenggalamkan kaum Nabi Nuh as., gunung-gunung menjadi tinggi. Sedangkan gunung Judi menjadi rendah. Setelah itu Allah menjadikan perahu untuk Nabi Nuh as. Sebagai tempat bebrteduh dan ketenangan.

Dalam cerita yang lain Umar bin Khatab ra berjalan dengan cepat. Menurut sebagian ulama, Umar mempercepat jalannya karena dia mempunyai kepentingan dan untuk menghindari sikap sombong.

Suatu malam Umar bin Abdul Aziz menulis surat yang disampingnya ada seorang tamu, sementara lampu hampir mati. Tamu itu bertanya, “Apa disini tidak ada orang yang memperbaiki lampu ?”.

“Tidak, sebagian kemuliaan tidak untuk menjadikan tamu sebagai pelayan”.

“Apakah tidak ada budak ?”.

“Tidak ada, sekarang ia sedang tidur”.

Setelah itu Umar mengambil wadah minyak dan menuangkan ke dalam lampu. Tamu itu hanya bisa melihatnya dengan heran. Bagaimana mungkin seorang raja melakukan perbuatan yang sepatutnya dilakukan oleh seorang pelayan.

“Mengapa hal itu engkau kerjakan sendiri wahai Amirul Mukminin ?” tanyanya.

“Jika saya pergi, maka saya adalah Umar. Dan jika saya kembali, saya juga adalah Umar”.

Diriwayatkan oleh Abu Said Al-Khudry bahwa RasuluLlah SAW pernah memberikan makanan kepada unta, menyapu rumah, menjahit sandal, menambal pakaian, menggembala kambing, makan bersama pelayan dan menggoreng ikan. RasuluLlah SAW tidak merasa malu membawa barang belanjaannya dari pasar menuju ke tempat keluarganya, beliau juga bersalaman baik dengan orang kaya maupun orang fakir, mengawali salam, tidak pernah meremehkan pemberian (hadiah) apabila beliau diundang, meskipun hanya beberapa potong roti. Beliau suka memberi makanan, berbudi pekerti baik, berkarakter baik, pandai bergaul, muka berseri-seri, tersenyum tanpa tertawa, berdukacita tanpa masam, rendah diri tanpa merasa hina, dermawan tanpa berlebih-lebihan, lemah lembut dan belas kasih terehadap orang Islam, tidak pernah merasakan kenyang dan tidak pernah mengulurkan tangan terhadap makanan meskipun sangat ingin.

Fudhail bin Iyadh mengatakan, :Orang yang selalu mnegadukan kepada Allah adalah orang yang khusyuk dan tawadhuk, sedangkan orang yang selalu mengadu kepada hakim adalah orang yang tinggi hati dan sombong.” Dia juga megatakan barang siapa yang melihat dirinya tinggi dan berharga maka dia tidak akan mendapatkan bagian tawadhuk. Fudhail juga pernah ditanya tentang tawadhuk maka ia menjawab, “rendah diri untuk kebenaran, menyelamatkan diri untuk kebenaran, dan menerima kebenaran dari orang lain”. Dia juga pernah mengatakan, “ Allah menurunkan wahyu kepada gunung : Aku Allah berfirman kepada seorang nabi diantara kamu sekalian. Gunung-unung menjadi tinggi sedangkan gunung thur Sina menjadi rendah. Setelah itu Allah berfirman kepada Nabi Musa AS, karena dia rendah diri”.

Al-Junaid pernah ditanya tentang tawadhuk maka beliau manjawab, “merendahkan lambung kepada orang lain dan lemah lembut kepada mereka”. Wahab mengatakan, “Sebagian ayat yang diturunkan Allah pada berbagai kitab antara lain, “Sesungguhnya Allah telah mengeluarkan keturunan Adam dari tulang rusuknya. Tetapi Aku belum pernah melihat hati yang lebih hebat tawadhuknya dari pada hati Musa. Oleh karena itu Aku telah memilihnya dan berfirman kepadanya”.

Menurut Ibnu Mubarak, sombong terhadap orang kaya dan rendah diri terhadap orang fakir merupakan bagian dari tawadhuk. Abu Yazid ditanya, “Kapan orang harus tawadhuk ?”. Beliau menjawab, “Orang yang tidak memandang dirinya sendiri mempunyai kedudukan dan bukan sebagai sesuatu apapun serta tidak memandang orang lain buruk”.ada orang yang berpendapat tawadhuk adalah kenikmatan yang tidak dapat dipublikasikan, sombong adalah cobaan yang tidak dapat dikasihani, dan kemuliaan terletak pada tawadhuk. Ibrahim bin Syaiban mengatakan, “Keagungan terletak pada tawadhuk, kemuliaan terletak pada takwa, dan kemerdekaan terletak pada qanaah.”

Abu Said Al-Arabi mengatakan, “Sufyan Atsauri telah mengajariku. Dia mengatakan orang yang mulia dibagi menjadi lima, yaitu ‘alim yang zuhud, faakih yang sufi, orang kaya yang tawadhuk, orang fakir yang syukur, dan orang yang berpangkat yang mukanya berseri seri”.

Menurut Yahya bin Muadz, tawadhuk adalah suatu kebaikan yang dapat dikerjakan oleh setiap orang. Akan tetapi apabila dikerjakan oleh orang kaya tentu akan lebih baik. Sombong adalah keburukan yang dapat dikerjakan oleh setiap orang. Tetapi apabila dikerjakan oleh orang yang fakir tentu akan leibih buruk. Menurut Ibnu Atha’ tawadhuk adalah mau menerima kebenaran dari orang lain.

Dalam suatu cerita, Zaid bin Tsabit mengendarai hewan tunggangan. Tiba-tiba Ibnu Abbas mendekatinya untuk memperoleh pengajaran seraya memegang kendali hewan tunggangannya dengan sikap menunduk. Zaid merasa tidak enak kemudian melarangnya. “Lepaskan wahai putera paman RasuluLlah”. Namun Ibn Abbas tidak mau mempedulikannya, dia terus memegangnya seraya mengatakan, “Seperti inilah kami diperintahkan untuk berbuat baik kepada ulama kami.” Rupanya Zaid cukup cerdik. Dia segera merebut tangan Ibnu Abbas , menarik kemudian menciumnya sambil mengatakan, “Seperti inilah kami diperintahkan untuk berbuat baik kepada keluarga RasuluLlah SAW”.

Urwah bin Zubair mengatakan, “Saya pernah melihat Khalifah Umar bin Khatab memanggul air. Diatas pundaknya terdapat sebuah ghirbah (tempat air dari kulit). Saya mengatakan, ‘Wahai Amirul Mukmininn tidak sepantasnya tuan berbuat seperti ini’. Dia menjawab, ‘Ketika para utusan datang kepadaku, mereka mendengarkan dan tunduk kepadaku, sehingga kesombongan terkadang muncul dalam hatiku. Oleh karena itu saya harus menghilangkannya’. Kemudian dia melanjutkan pekerjaannya dan membawa ghirbah itu ke ruang dapur seorang wanita dari golongan anshar dan menuangkannya ke dalam wadahnya sampai penuh”.

Dalam riwayat lain diceritakan bahwa Abu hurairah ra. Seorang gubernur Madinah pernah terlihat di atas pundaknya terdapat muatan ikatan kayu. Dia mengatakan, “Berilah jalan yang luas untuk seorang pemimpin”.

Manurut AbduLlaah Ar-Razi yang dimaksud tawadhuk adalah meninggalkan anak yang telah mencapai umur tamyiz dalam pelayanan. Abu Sulaiman Ad-Darani mengatakan barang siapa yang melihat diri sendiri berharga maka ia tidak akan mencicipi lezatnya / manisnya pelayanan. Yahya bin Muadz mengatakan, “Sombong kepada orang yang sombong adalah tawadhuk.”

Seorang lai-laki dating kepada Asy-Syibli. Dia ditanya oleh Syibli “siapa engkau ?”

“Wahai tuan, saya adalah titik yang terletak di bawah huruf ba’”.

“Engkau adalah penyaksiku selagi engkau belum memberikan (menjadikan) tempat (kedudukan) untuk dirimu sendiri.

Manurut Ibnu Abbas, sebagian dari tawadhuk adalah orang yang meminum air sisa saudaranya. Bisyir mengatakan, “Sampaikanlah salam kepada putra-putri yang ada di dunia ini karena banyak orang yang tidak memberikan salam kepada mereka”. Syu’aib bin Harb mengatakan, “Suatu hari saya mengerjakan tawaf tiab-tiba seseorang memukulku dengan sikunya. Saya menoleh dan ternyata dia adalah Fudhail bin Iyadh. Dia mengatakan, ‘Wahai Abu Shalih jika engkau menduga bahwa musim ini adalah buruk maka dugaanmu adalah buruk’”.

Seorang ulama mengatakan, “Ketika tawaf saya melihat seseorang. Dihadapannya terdapat beberapa pelayan yang menghalangi orang lain dari tempat tawaf. Selang beberapa waktu saya melihat orang itu berada di atas jembatan Baghdad. Orang-orang meminta sesuatu kepadanya dan saya merasa kagum kepadanya. Setelah itu dia mengatakan kepadaku, “Saya adalah orang yang sombong di suatu tempat yang orang lain dalam keadaan rendah. Oleh karena itu Allah mengujiku dengan kerendahan / kehinaan di suatu tempat yang orang lain dalam keadaan terangkat derajatnya.”

Umar bin Abdul Azis telah menerima informasi bahwa puteranya telah membeli sebuah cincin dengan harga 100 dirham. Ayahnya menulis surat kepada puteranya, “Telah sampai informasi kepadaku bahwa engkau telah membeli cincin dengan harga 1000 dirham. Apabila surat ini telah sampai kepadamu, maka juallah cincin itu, kenyangkanlah 1000 perut, ambilah dari cincin itu dua dirham, gantilah permata cincin itu dengan besi buatan cina dan tulislah cincin itu dengan kata-kata ‘mudah-mudahan Allah memberikan rahmat kepada seseorang yang mengetahui kemampuan dirinya sendiri’”.

Dalam suatu cerita, di hadapan sebagian para raja seorang budak ditawarkan dengan harga 1000 dirham. Ketika uang disodorkan ia menganggap harganya terlalu tinggi. Uang itu ditarik kembali dan di masukkan ke dalam lemari. Budak tersebut mengatakan, “Wahai tuan, belilah diri saya. Sesungguhnya diri saya pada setiap satu dirham dari beberapa dirham terdapat perangai baik yang nilainya lebih daripada 1000 dirham’.

“Apa itu ?”

“Lebih sedikit dan lebih dekat. Seandainya engkau membeliku dan mendatangkanku di hadapan semua budakmu, maka diriku tidak keberatan dan saya tahu bahwa diriku adalah budakmu”. Setelah itu ia membelinya.

Diriwayatkan dari Jabuir bin Hawiah dia mengatakan, “Beberapa pakaian Umar bin Abdul Azis telah dipersiapkan. Dia hendak melamar seorang perempuan dengan harga 12 dirham. Pakaian-pakaian tersebut hanya terdiri dari mantel, celana, selendang, dua kaos kaki dan kopiah”.

Sebuah cerita menuturkan bahwa AbulLah bin Muhammad bin Wasi’ berjalan dengan sikap yang tidak terpuji. Ayahnya menasehatinya, “Ibumu telah mengetahui bahwa engkau membeli sesuatu dengan harga 13 dirham. Padahal Allah belum pernah memberikan harta yang banyak kepada orang-orang Islam yang sama dengan apa yang dimiliki ayahmu, sedangkan engkau berjalan dengan sikap yang seperti ini”.

Menurut Hamdun Al-Qashar yang dimaksud tawadhuk adalah jangan menganggap orang lain itu butuh kepada dirimu, baik uruasn dunia maupun akhirat. Dalam satu ungkapan dijelaskan, Abu Dzar Al-Ghifari dan Bilal AL-Habsyi pernah saling berbantahan.Abu Dzar mencela Bilal dengan kata-kata ‘hitam’. Bilal kemudian mengadu kepada Nabi Muhammad SAW kemudian beliau memanggil Abu Dzar dan menegurnya, “Wahai Abu Dzar, di dalam hatimu masih ada sifat sombong seperti kesombongan orang-orang jahiliyah”. Setelah itu Abu Dzar menimpakan beban kepada dirinya sendiri. Dia bersumpah tidak akan mengangkat kepalanya sebelum pipinya diinjak oleh Bilal dengan telapak kakinya. Ia tidak mau mengangkat kepalanya hingga bilal melaksanakan apa yang diinginkan.

Al-Hasan bin Ali bertemu dengan anak-anak kecil di perjalanan. Disamping mereka terdapat pecahan roti yang mereka suguhkan. Hasan RA lantas turun dari tunggangannya dan makan bersama mereka. Dan setelah itu ia mmembawa mereka mampir ke rumahnya. Dia memberikan makanan dan pakaian. Dia mengatakan, “Keutamaan ini adalah milik mereka. Mereka belum pernah mendapatkan makanan selain apa yang telah mereka suguhkan kepadaku. Sedangkan kita mendapatkan makanan lebih banyak dari ini”.

Menurut satu pendapat, Umar bin Khatab RA membagi-bagikan pakaian baru dari harta ghanimah (rampasan perang) kepada para sahabat. Umar mengirimkan sebuah yang kuat kepada Mu’adz bin Jabal. Namun dia menjual papkaian pemberian itu dan di pakai membeli 6 orang budak kemudian dimerdekakan. Peristiwa tersebut sampai kepada Umar RA. Setelah selesai pembagiannya, Umar mengirimkan lagi sebuah pakaian baru kepada Mu’adz. Mu’adz mencela apa yang dikerjakan Umar.

“Celaan itu tidak ada artinya bagiku karena engkau telah menjual pemberian yang pertama”.

“Hal itu adalah kewaajibanmu. Berikanlah bagianku ! Saya bersumpah, kepalamu benar-benar akan saya pukul”.

“Ini kepalaku sudah ada di hadapanmu, orang tua akan berteman dengan orang tua”.